A. Konsep Etos Kerja
1. Pengertian Etos Kerja
Berdasarkan sumber-sumber yang telah penulis kumpulkan, terdapat banyak pengertian mengenai Etos Kerja, antara lain :
a. Menurut Khasanah (2004:8) :
Etos berasal dari bahasa yunani ethos yakni karakter, cara hidup, kebiasaan seseorang, motivasi atau tujuan moral seseorang serta pandangan dunia mereka, yakni gambaran, cara bertindak ataupun gagasan yang paling komprehensif mengenai tatanan. Dengan kata lain etos adalah aspek evaluatif sebagai sikap mendasar terhadap diri dan dunia mereka yang direfleksikan dalam kehidupannya.
b. Menurut Geertz (1982:3) : “Etos adalah sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup. Sikap disini digambarkan sebagai prinsip masing-masing individu yang sudah menjadi keyakinannya dalam mengambil keputusan .”
c. Menurut Siregar (200:25) :
Etos kerja seseorang erat kaitannya dengan kepribadian, perilaku, dan karakternya. Setiap orang memiliki internal being yang merumuskan siapa dia. Selanjutnya internal being menetapkan respon, atau reaksi terhadap tuntutan external. Respon internal being terhadap tuntutan external dunia kerja menetapkan etos kerja seseorang.
d. Menurut Usman Pelly (1992:12) :
Etos kerja adalah sikap yang muncul atas kehendak dan kesadaran sendiri yang didasari oleh sistem orientasi nilai budaya terhadap kerja. Dapat dilihat dari pernyataan di muka bahwa etos kerja mempunyai dasar dari nilai budaya, yang mana dari nilai budaya itulah yang membentuk etos kerja masing-masing pribadi.
e. Menurut Toto Tasmara (2002):
Etos kerja adalah totalitas kepribadian dirinya serta caranya dalam mengekspresikan, memandang, meyakini dan memberikan makna ada sesuatu, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal sehingga pola hubungan antara manusia dengan dirinya dan antara manusia dengan makhluk lainnya dapat terjalin dengan baik.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa Etos Kerja merupakan suatu totalitas dari sikap, kepribadian, dan karakternya yang diwujudkan secara nyata melalui kerja sehingga dapat memberikan makna di dalam kehidupannya.
2. Fungsi Etos Kerja
Menurut A.Tabrani Rusyan (1989) fungsi etos kerja meliputi: “(a)pendorong timbulnya perbuatan; (b)penggairah dalam aktivitas; dan (c)sebagai penggerak.”
a. Pendorong timbulnya perbuatan
Dalam hal ini, etos kerja berfungsi dalam menggerakan segala perbuatan setiap individu, dimana perbuatan yang diharapkan adalah perbuatan yang positif dan tentunya memberikan makna dan manfaat di dalam khidupan.
b. Penggairah dalam aktivitas
Dengan adanya etos kerja, setiap individu akan memiliki semangat dan gairah dalam melakukan setiap aktivitas atau pekerjaanya.
c. Sebagai penggerak
Dalam hal ini, etos kerja bagaikan mesin bagi mobil, maka besar kecilnya motivasi yang akan menentukan cepat lambatnya suatu perbuatan.
3. Cara Menumbuhkan Etos Kerja
Menurut Khasanah (2004) terdapat enam cara untuk menumbuhkan Etos Kerja, antara lain : ‘Menumbuhkan sikap optimis, menjadi diri sendiri, keberanian untuk memulai, kerja dan waktu, konsentrasi, dan niat .’
a. Menumbuhkan sikap optimis dalam diri, dapat dilakukan dengan cara :
• Mengembangkan semangat dalam diri;
• Peliharalah sikap optimis yang telah dipunyai; dan
• Motivasi diri untuk bekerja lebih maju.
b. Menjadi diri sendiri, dapat dilakukan dengan cara :
• Mensyukuri segala yang dimiliki;
• Raihlah cita-cita yang diharapkan.
c. Keberanian untuk memulai, dapat dilakukan dengan cara :
• Jangan buang waktu dengan bermimpi;
• Jangan takut untuk gagal; dan
• Merubah kegagalan menjadi sukses.
d. Kerja dan waktu, dapat dilakukan dengan cara :
• Menghargai waktu (tidak akan pernah ada ulangan waktu);
• Jangan cepat merasa puas.
e. Kosentrasikan diri pada pekerjaan, dapat dilakukan dengan cara :
• Latihan berkonsentrasi;
• Perlunya beristirahat.
f. Niat bekerja sebagai sebuah panggilan Tuhan, dapat dilakukan dengan cara fokus dan istiqomah terhadap segala yang dikerjakan.
B. Dorongan Islam tentang Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, dan Tanggung Jawab
1. Dorongan Islam tentang Disiplin
Disiplin berasal dari akar kata “disciple“ yang berarti belajar. Disiplin merupakan arahan untuk melatih dan membentuk seseorang melakukan sesuatu menjadi lebih baik. Menurut Toto Tasmara (2002: 88) menyatakan :
Disiplin erat kaitannya dengan konsisten yaitu kemampuan untuk mengendalikan diri dengan tenang dan tetap taat walaupun dalam situasi yang sangat menekan. Dalam hal ini, pribadi yang berdisiplin sangat berhati-hati dalam mengelola pekerjaan serta penuh tanggung jawab memenuhi kewajibannya.
Berdasarkan pengertian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa disiplin adalah kepatuhan untuk menghormati dan melaksanakan suatu sistem yang mengharuskan orang untuk tunduk kepada keputusan, perintah dan peraturan yang berlaku. Dengan kata lain, disiplin adalah sikap menaati peraturan dan ketentuan yang telah ditetapkan tanpa pamrih. Disiplin adalah kunci sukses, sebab dalam disiplin akan tumbuh sifat yang teguh dalam memegang prinsip, tekun dalam usaha, pantang mundur dalam kebenaran, dan rela berkorban untuk kepentingan agama dan jauh dari sifat putus asa.
Perlu kita sadari bahwa betapa pentingnya disiplin dan betapa besar pengaruh kedisiplinan dalam kehidupan, baik dalam kehidupan pribadi, dalam kehidupan masyarakat maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dorongan Islam tentang disiplin ini meliputi :
a. Disiplin dalam kehidupan pribadi
Dalam ajaran Islam, banyak ayat Al Qur’an dan Hadist, yang memerintahkan disiplin dalam arti ketaatan pada peraturan yang telah ditetapkan, antara lain surat An Nisa ayat 59, yang artinya : " Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kepada rasul-Nya dan kepada Ulil Amri dari (kalangan) kamu……”(An –Nisa: 59).
b. Disiplin dalam penggunaan Waktu
Disiplin dalam penggunaan waktu perlu diperhatikan dengan seksama. Waktu yang sudah berlalu tak mungkin dapat kembali lagi. Hari yang sudah lewat tak akan datang lagi. Demikian pentingnya waktu sehingga berbagai bangsa di dunia mempunyai ungkapan yang menyatakan penghargaan terhadap waktu. Orang Inggris mengatakan “waktu adalah uang", peribahasa Arab mengatakan “Waktu adalah pedang", atau “Waktu adalah peluang emas", dan kita orang Indonesia mengatakan :" Sesal dahulu pendapatan sesal kemudian tak berguna".
c. Disiplin dalam beribadah
Menurut bahasa, ibadah berarti tunduk atau merendahkan diri. Pengertian yang lebih luas dalam ajaran Islam, ibadah berarti tunduk dan merendah diri hanya kepada Allah yang disertai perasaan cinta kepada-Nya. Dari pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa disiplin dalam beribadah itu mengandung 2 hal :
• Berpegang teguh apa yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya, baik berupa perintah atau larangan, maupun ajaran yang bersifat menghalalkan, menganjurkan, sunnah dan makruh.
• Sikap berpegang teguh yang berdasarkan cinta kepada Allah, bukan karena rasa takut atau terpaksa. Maksud cinta kepada Allah adalah senantiasa taat kepada-Nya. Perhatikan firman Allah dalam Suat Ali Imran ayat 31 yang artinya :
"Katakanlah : " Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali Imran : 31).
Sebagaimana telah kita ketahui, ibadah itu dapat digolongkan menjadi dua yaitu :
• Ibadah Mahdah (murni) yaitu bentuk ibadah yang langsung berhubungan dengan allah.
• Ibadah Ghaira Mahdah (selain mahdah), yang tidak langsung dipersembahkan kepada Allah melainkan melalui hubungan kemanusiaan.
d. Disiplin dalam bermasyarakat
Hidup bermasyarakat adalah fitrah manusia. Dilihat dari latar belakang budaya setiap manusia memiliki latar belakang yang berbeda. Karenanya setiap manusia memiliki watak dan tingkah laku yang berbeda. Namun demikian, dengan bermasyarakat, mereka telah memiliki norma-norma dan nilai-nilai kemasyarakatan serta peraturan yang disepakati bersama, yang harus dihormati dan di hargai serta ditaati oleh setiap anggota masyarakat tersebut.
Agama Islam mengibaratkan anggota masyarakat itu bagaikan satu bangunan yang didalamnya terdapat beberapa komponen yang satu sama lain mempunyai fungsi yang berbeda-beda, mana kala salah satu komponen rusak atau binasa.
Hadits Nabi SAW menegaskan :
“Seorang Mukmin dengan Mukmin lainnya bagaikan bangunan yang sebagian dari mereka memperkuat bagian lainnya. Kemudian beliau menelusupkan jari-jari yang sebelah kejari-jari tangan sebelah lainnya.” (H.R.Bukhori Muslim dan Turmudzi).
e. Disiplin Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Negara adalah alat untuk memeperjuangakan keinginan bersama berdasarkan kesepakatan yang dibuat oleha para anggota atau warganegara tersebut. Tanpa adanya masyarakat yang menjadi warganya, negara tidak akan terwujud. Oleh karena itu masyarakat merupakan prasyarat untuk berdirinya suatu negara. Tujuan dibentuknya suatu negara adalah agar seluruh keinginan dan cita-cita yang diidamkan oleh warga masyarakat dapat diwujudkan dan dapat dilaksanakan.
Rasulullah bersabda yang artinya :
“Seorang muslim wajib mendengar dan taat, baik dalam hal yang disukainya maupun hal yang dibencinya, kecuali bila ia diperintah untuk mengerjakan maksiat. Apabila ia diperintah mengerjakan maksiat, maka tidak wajib untuk mendengar dan taat”.
(H.R.Bukhari Muslim).
2. Dorongan Islam tentang Kerja Keras
Berniat untuk bekerja dengan cara-cara yang sah dan halal menuju ridha Allah adalah visi dan misi setiap muslim. Berpangku tangan merupakan perbuatan tercela dalam agama Islam. Umar bin Khattab pernah menegur seseorang yang sering duduk berdo’a di masjid tanpa mau bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan dirinya. Umar berkata, Janganlah salah seorang kamu duduk di masjid dan berdo’a,“Ya Allah berilah aku rezeki”. Sedangkan ia tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan hujan perak.
Maksud perkataaan Umar ini adalah bahwa seseorang itu harus bekerja dan berusaha, bukan hanya berdo’a saja dengan mengharapkan bantuan orang lain.
Al-Qur’an menanamkan kesadaran bahwa dengan bekerja keras berarti kita merealisasikan fungsi kehambaan kita kepada Allah, dan menempuh jalan menuju ridha-Nya, mengangkat harga diri, meningkatkan taraf hidup, dan memberi manfaat kepada sesama, bahkan kepada makhluk lain. Dengan tertanamnya kesadaran ini, mendorong seorang muslim atau muslimah akan berusaha mengisi setiap ruang dan waktunya hanya dengan aktivitas yang berguna. Semboyannya adalah “tiada waktu tanpa kerja, tiada waktu tanpa amal.”
3. Dorongan Islam tentang Kreatif
Definisi kreatif memiliki kaitan dengan beberapa kata seperti proses berpikir, perilaku, kebiasaan, karya dan sebagainya. Orang yang memiliki kreativitas akan lebih mudah untuk maju dan berkembang serta berhasil dalam menjalani kehidupannya. Definisi tersebut menggambarkan bahwa kreativitas merupakan suatu proses mental yang terjadi denga melibatkan pemikiran baru (new idea or concept) atau pembaruan pemikiran yang sudah ada (exist) sebelumnya, dimana pemikiran tersebut bersumber dari pemahaman yang mendalam.
Dalam Islam, kreativitas seorang muslim harus diarahkan untuk mengekspresikan kebenaran absolut yang dimilikinya dan untuk menambah keimanan. Sebagai muslim, kita diharuskan untuk dekat dengan ‘sisi kreatif’ berdasarkan spiritualitas , dimana kreativitas dikembangkan melalui ibadah kita seperti shalat, shaum, bersedekah, berdo’a, mentadaburi tanda-tanda kekuasaan Allah dan makna-makna di dalam Al-Qur’an.
Dalam Islam, kreativitas tidak boleh keluar dari rel akidah, syariat, dan akhlak Islam. Kreativitas apapun namanya, jika bertentangan dengan akidah Islam, maka hal itu tidak dapat ditolerir atas nama apapun karena pada hakikatnya hal itu bukanlah sebuah tindakan yang terhormat namun sekadar mencari sensasi dan mencari popularitas dengan melecehkan, mengolok-olok, dan mempermainkan agama serta tindakan itu bisa menyebabkan pelakunya menjadi murtad.
Seorang muslim harus mengarahkan kreativitasnya dalam hal-hal yang mendatangkan pahala dan keridhaan Allah Swt. Karena para nabi dan rasul pun telah Allah bekali dengan kreatifitas dalam rangka membumikan risalah yang mereka emban.
Pada tingkat yang paling tinggi orientasi kreativitas maupun kegiatan seorang muslim haruslah mencerminkan tujuan hidup seorang muslim yaitu beribadah kepada Allah Swt. untuk memperoleh sebuah rumah di surga kelak sehingga menjauhkan diri dari api neraka di akhirat.
4. Dorongan Islam tentang Tanggung Jawab
Tanggung jawab menurut kamus umum Bahasa Indonesia adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Sehingga bertanggung jawab menurut kamus umum Bahasa Indonesia adalah berkewajiban menanggung, memikul jawab, menanggung segala sesuatu, dan menanggung akibatnya. Titipan yang menjadi tanggungannya disebut dengan amanah. Sikap amanah sangat erat kaitannya dengan cara dirinya memertahankan prinsip dan kemudian bertanggung jawab untuk melaksanakan prinsip-prinsipnya tersebut dengan tetap menjaga keseimbangan dan melahirkan nilai manfaat yang berkesesuaian.
Dorongan Islam tentang tanggung jawab, tercantum dalam surat Al Mudatstsir ayat 38 dinyatakan :
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ (38)
Artinya: “Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya” (Al-Mudatsir:38).
Berdasarkan ayat ini, jelas bahwa setiap individu harus bertanggung jawab terhadap segala bentuk perbuatannya dan tidak meremehkannya perbuatan baik sekecil apapun serta tidak gegabah berbuat dosa walau sekecil biji sawi. Karena, boleh jadi perbuatan baik atau jahat itu mula-mula amat kecil ketika dilakukan, akan tetapi bila pengaruh dan akibatnya terus berlangsung lama, bisa jadi akan amat besar pahala atau dosanya.
Allah SWT menyatakan
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَءَاثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ(12)
Artinya: “Kami menuliskan apa-apa yang mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan”. (Yaasiin:12).
Ayat ini menegaskan bahwa tanggangjawab itu bukan saja terhadap apa yang diperbuatnya akan tetapi melebar sampai semua akibat dan bekas-bekas dari perbuatan tersebut. Orang yang meninggalkan ilmu yang bermanfaat, sedekah jariyah atau anak yang sholeh , kesemuanya itu akan meninggalkan bekas kebaikan selama masih berbekas sampai kapanpun. Dari sini jelaslah bahwa Orang yang berbuat baik atau berbuat jahat akan mendapat pahala atau menanggung dosanya ditambah dengan pahala atau dosa orang-orang yang meniru perbuatannya. Hal ini ditegaskan dalam Surat An-Nahl 25 :
لِيَحْمِلُوا أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِينَ يُضِلُّونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ أَلَا سَاءَ مَا يَزِرُونَ(25)
Artinya:
“(Ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat dan sebagian dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun bahwa mereka disesatkan. Ingatlah amat buruklah dosa yang mereka pikul itu.”
(An-Nahl:25).
Tanggung jawab seorang berkaitan erat dengan kewajiban yang dibebankan padanya. Semakin tinggi kedudukannya di masyarakat maka semakin tinggi pula tanggungjawabnya. Seorang pemimpin negara misalnya, bertanggung jawab atas perilaku dirinya, keluarganya, saudara-saudaranya, masyarakatnya dan rakyatnya.
Hal ini ditegaskan Allah sebagai berikut:“Wahai orang-orang mukmin peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (At Tahrim:6) .
Sebagaimana yang ditegaskan Rasululah saw : “ Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya..”(Al Hadits).
Baik dan buruknya prilaku dan keadaan rakyat tergantung kepada pemimpinnya. Sebagaimana rakyat juga akan dimintai pertanggungjawabannya ketika memilih seorang pemimpin. Bila mereka memilih pemimpin yang bodoh dan tidak memiliki kapabilitas serta akseptabilitas sehingga kelak pemimpin itu akan membawa rakyatnya ke jurang kedurhakaan rakyat juga dibebani pertanggungjawaban itu..
Seorang penguasa tidak akan terlepas dari beban berat tersebut kecuali bila selalu melakukan kontrol, mereformasi yang rusak pada rakyatnya , menyingkirkan orang-orang yang tidak amanah dan menggantinya dengan orang yang sholeh. Pertolongan Allah tergantung niat sesuai dengan firman Allah :
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (11)
Artinya : “Barangsiapa yang beriman kepada Allah akan ditunjuki hatinya danAllah Maha Mengetahui atas segala sesuatu. “(At-Taghobun:11)
C. Memelihara Etos Kerja yang Baik
Bekerja menempati kedudukan yang paling penting dalam Islam. Dengan bekerja seseorang akan dapat melangsungkan kehidupannya. Selain itu, bekerja juga merupakan suatu ibadah.
Menurut Dr. Thohir Luth, M.A (2001:38) “Setiap pekerja terutama yang beragama Islam, harus dapat menumbuhkan etos kerja secara islami karena pekerjaan yang ditekuninya bernilai ibadah”.
Untuk itu kita sebagai umat islam harus mampu menumbuhkan dan memelihara etos kerja yang baik. Cara memelihara etos kerja itu sendiri dapat dilkukan dengan cara:
1. Memiliki niat ikhlas karena Allah SWT
Niat yang ikhlas merupakan landasan setiap aktivitas kita. Niat hanya krena Allah, akan menyadarkan kita bahwa Allah swt sedang memantau kita kerja,Allah hendaknya menjadi tujuan kita, segala sesuatu yang kita peroleh wajib disyukuri, rezeki harus digunakan dan dibelanjakan pada jalan yang benar dan menyadari apa saja yang kita peroleh pasti ada pertanggung jawaban kepada Allah SWT. Nilai pekerjaan kita bisa menjadi ibadah atau tidak sangat bergantung pada niat untuk apa kita melaksanakan sesuatu. Dalam pengertian sederhana, manusia akan diperhitungkan perbutannya sesuai dengan niatnya.
Rasulullah Saw. Bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: “ Sesunguhnya segala perbuatan bergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya seseorang akan memperolh (pahala) sesuai dengan apa yang ia niatkan….”(HR.Syaikhain).
2. Merasa Terpantau
Merasa terpantau artinya menyadari sesungguhnya bahwa segala sesuatu apa saja yang kita kerjakan tidak pernah lepas dalam rekaman dan penglihatan yang Maha Kuasa.
Sebagaimana firman Allah :
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarah-pun niscaya dia akan melihat (balasannya). Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan secara dzarah pun, niscaya akan melihat (balasannya)nya pula.” (Az-Zalzalah: 7-8)
3. Berlaku jujur
Jujur adalah kesucian murni yang memberikan jaminan kebahagiaan spiritual karena kebenaran berbuat, ketepatan bekerja, bisa dipercaya dan tidak mau berbuat dosa.
4. Amanah (dapat dipercaya)
Seseorang memberi kepercayaan kepada orang lain karena orang dipandang jujur. Dengan demikian kepercayaan yang diterimanya itu adalah satu penghargaan moral yang teramat mahal.
5. Bertaqwa kepada Allah dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
6. Membangun budaya kerja yang bermoral positif.
7. Mempunyai kemauan yang sungguh-sungguh.
8. Mempunyai moral yang tepuji dan tangguh dalam mengambil keputusan.
9. Mampu berkomunikasi secara sehat antar sesama pekerja dan pimpinan-pimpinannya.
10. Sopan santun terhadap lingkungan sekitar, terutama sesama mitra kerja.
Menurut K.H Toto Tasmara (2002) hal-hal yang harus dilakukan untuk mencapai etos kerja yang islami adalah: “Percaya diri dan optimis, jiwa yang merdeka, Allah always in my heart, berwawasan memiliki kemampuan bersaing. berpikir positif, memiliki harga diri, dan berorintasi kedepan “.
D. Dampak Ajaran Islam terhadap Etos Kerja
Al-Qur’an sebagai pedoman kerja kebaikan, kerja ibadah, kerja taqwa atau amal shalih, memandang kerja sebagai kodrat hidup. Al-Qur’an menegaskan bahwa hidup ini untuk ibadah (adz-Dzariat: 56). Maka, kerja dengan sendirinya adalah ibadah, dan ibadah hanya dapat direalisasikan dengan kerja dalam segala manifestasinya (al-Hajj: 77-78, al-Baqarah:177).
Jika kerja adalah ibadah dan status hukum ibadah pada dasarnya adalah wajib, maka status hukum bekerja pada dasarnya juga wajib. Kewajiban ini pada dasarnya bersifat individual, atau fardhu ‘ain, yang tidak bisa diwakilkan kepada orang lain. Hal ini berhubungan langsung dengan pertanggung jawaban amal yang juga bersifat individual, dimana individullah yang kelak akan mempertanggungjawabkan amal masing-masing. Untuk pekerjaan yang langsung memasuki wilayah kepentingan umum, kewajiban menunaikannya bersifat kolektif atau sosial, yang disebut dengan fardhu kifayah, sehingga lebih menjamin terealisasikannya kepentingan umum tersebut. Namun, posisi individu dalam konteks kewajiban sosial ini tetap sentral.
Setiap orang wajib memberikan kontribusi dan partisipasinya sesuai kapasitas masing-masing, dan tidak ada toleransi hingga tercapai tingkat kecukupan (kifayah) dalam ukuran kepentingan umum.
Syarat pokok agar setiap aktivitas kita bernilai ibadah ada dua, yaitu sebagai berikut:
Pertama, Ikhlas, yakni mempunyai motivasi yang benar, yaitu untuk berbuat hal yang baik yang berguna bagi kehidupan dan dibenarkan oleh agama. Dengan proyeksi atau tujuan akhir meraih mardhatillah.
Kedua, shawab (benar), yaitu sepenuhnya sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh agama melalui Rasulullah Saw untuk pekerjaan ubudiyah (ibadah khusus), dan tidak bertentangan dengan suatu ketentuan agama dalam hal muamalat (ibadah umum). Ketentuan ini sesuai dengan pesan Al-Qur’an.
Ketika kita memilih pekerjaan, maka haruslah didasarkan pada pertimbangan moral, apakah pekerjaan itu baik (amal shalih) atau tidak. Islam memuliakan setiap pekerjaan yang baik, tanpa mendiskriminasikannya, apakah itu pekerjaan otak atau otot, pekerjaan halus atau kasar, yang penting dapat dipertanggungjawabkan secara moral di hadapan Allah. Pekerjaan itu haruslah tidak bertentangan dengan agama, berguna secara fitrah kemanusiaan untuk dirinya, dan memberi dampak positif secara sosial dan kultural bagi masyarakatnya. Karena itu, tangga seleksi dan skala prioritas dimulai dengan pekerjaan yang manfaatnya bersifat primer, kemudian yang mempunyai manfaat pendukung, dan terakhir yang bernilai guna sebagai pelengkap.
Dengan adanya etos kerja yang baik, diharapkan dapat memberi dampak yang baik pula pada hasil kerja dan tujuan kerja yang nantinya dapat dipergunakan untuk kebaikan, memenuhi kebutuhan hidup diri sendiri dan keluarga, menjaga diri dari pengangguran dan tindak kejahatan, menabung untuk hari tua dan hasrat meninggalkan warisan untuk anak dan cucu, dan bekerja untuk kepentingan orang lain, jika ditempuh dengan cara yang tidak baik maka hal ini tidak diperbolehkan (haram). Karena menurut islam antara tujuan dan cara kerja harus sama baik (halal).
Penerapan nilai-nilai agama yang berkaitan dengan etos kerja diharapkan mampu menjadi bagian dan inti sistem dari nilai-nilai yang ada dalam kerja bagi individu dan masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong atau penggerak serta mengontrol dari tindakan-tindakan para anggota masyarakat untuk tetap hidup dan bekerja sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam, terutama dikaitkan dengan kenyataan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia adalah beragama Islam, yang diharapkan mempunyai dampak yang langsung terhadap etos kerja individu dan masyarakat.
Islam menghendaki adanya etos kerja yang tinggi bagi umatnya dalam memenuhi keinginannya, bukan semata-mata hanya dengan berdoa. Bahkan untuk memotivasi kegiatan perdagangan (bisnis), Rasulullah Saw bersabda: “Pedagang yang lurus dan jujur kelak akan tinggal bersama para nabi, siddiqin, dan syuhada.” (HR Tirmidzi). Dan pada hadits yang lain Rasulullah SAW menyatakan bahwa: “Makanan yang paling baik dimakan oleh seseorang adalah hasil usaha tangannya sendiri.” (H.R. Bukhari).
Islam juga mengajarkan bahwa apabila peluang kerja atau berusaha di tempat tinggal asal (kampung halaman) tertutup, maka orang-orang yang mengalami hal tersebut dianjurkan merantau (hijrah) untuk memperbaiki kondisi kehidupannya karena bumi Allah luas dan rezeki-Nya tidak terbatas di suatu tempat, sebagaimana Firman Allah SWT : “Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak…...” (QS. an-Nisa’:100).
Ajaran Islam, sangat memotivasi seseorang untuk bekerja atau berusaha, dan menentang keras untuk meminta-minta (mengemis) kepada orang lain. Islam tidak membolehkan kaum penganggur dan pemalas menerima shadaqah, tetapi orang tersebut harus didorong agar mau bekerja dan mencari rezeki yang halal sebagaimana hadits Rasulullah SAW yang berbunyi: “Bila seseorang meminta-minta harta kepada orang lain untuk mengumpulkannya, sesungguhnya dia mengemis bara api. Sebaiknya ia mengumpulkan harta sendiri.” (H.R. Muslim).
Oleh karena itu, Islam, memberikan peringatan keras kepada yang meminta-minta (mengemis), sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Qayyim, “mengemis kepada orang lain adalah tindakan zalim terhadap Rabbul’alamin, hak tempat meminta, dan hak pengemis itu sendiri”.
Masyarakat Islam, baik penguasa maupun rakyat, diminta untuk mengerahkan segenap potensinya untuk menghilangkan kemiskinan. Mereka harus memanfaatkan semua kekayaan, sumber daya manusia maupun sumber daya alam sehingga akan meningkatkan produksi serta berkembangnya berbagai sumber kekayaan secara umum yang akan berdampak dalam pengentasan umat dari kemiskinan. Umat Islam diminta bergandeng tangan menghilangkan semua cacat yang dapat merusak bangunan masyarakatnya.
Masyarakat Islam dituntut menciptakan lapangan kerja dan membuka pintu untuk berusaha (berbisnis). Di samping itu, juga harus menyiapkan tenaga-tenaga ahli yang akan menangani pekerjaan tersebut. Hal ini merupakan kewajiban kolektif umat Islam. Perlu kita sadari, bahwa Allah SWT tidak akan mengubah nasib kita tanpa kita sendiri mengubah nasib kita, dan oleh karena itu kita harus menjaga dan meningkatkan etos kerja kita agar kita tidak tertinggal oleh yang lain.
Sebagaimana firman Allah SWT:
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehinga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…”
(QS.13/ ar-Ra’d: 11).
Oleh karena itu, setiap seorang muslim harus tetap optimis dalam keadaan bagimanapun. Ia harus bekerja dan berkarya terbaik bagi diri dan sekitarnya, tetap beristiqamah mempertahankan identitas seorang muslim yang memiliki sifat sebagai pekerja keras dan berusaha menjauhkan diri dari sifat ketergantungan dan mengharapkan belas kasihan orang lain.
E. Etos Kerja Guru Muslim yang Ideal
Kemuliaan seorang pengajar atau guru muslim dalam etos kerja bergantung kepada karakter dan apa yang dilakukannya.
Adapun karakter-karakter guru muslim yang ideal menurut Mahmud Khalifah dan Usamah Quthub (2009:40), diantaranya :
1. Ruhiyah dan akhlakiyah, misalnya dengan beriman kepada Allah, beriman kepada Qada’ dan Qadar Allah, beriman dengan nilai-nilai Islam yang abadi, melakukan perintah-perintah yang diwajibkan agama dan menjauhi segala yang dilarang agama, baik dalam perkataan maupun perbuatan.
2. Asas dan penopang guru dalam mengajar adalah untuk menyebarkan ilmu dan demi merengkuh pahala akhirat, sebagaimana sabda Rasullah Saw :
“Sampaikanlah ilmu yang berasal dariku (kepada umat manusia) walaupun hanya satu kalimat.”
3. Tidak emosional, guru mampu mengekang diri, meredam kemarahan, teguh pendirian, dan jauh dari sikap sembrono atau sikap yang tidak didasari dengan pemikiran yang matang.
4. Rasional, guru harus pandai, mampu menyelesaikan permasalahan dengan baik, cerdas dan cekatan, serta kuat daya ingatnya.
5. Sosial, guru harus dapat menjalin hubungan baik dengan orang lain, baik dikala senang maupun susah, khususnya dengan orang-orang yang bertanggung jawab dalam dunia pendidikan.
6. Fisik yang sehat, guru senantiasa menjaga kesehatan badan, memiliki ketangkasan tubuh, dan keindahan fisik.
7. Profesi, guru harus memiliki keinginan dan kecintaan yang tulus untuk mengajar, serta yakin atas manfaat dari pengabdiannya terhadap masyarakat.
Karakter-karakter tersebut mempengaruhi etos kerja seorang guru. Adapun pengaplikasian karakter-karakter guru tersebut dalam etos kerja antara lain :
1. Setiap guru muslim ketika akan melakukan suatu pekerjaan maka hendaknya ia selalu berniat dengan niatan dengan niatan ibadah dan dalam upaya mencari ridho Allah SWT. Tanpa niat ibadah, maka pekerjaan yang ia lakukan hanya sebatas bermanfaat di dunia dan bukan termasuk amal akhirat. Hal yang demikian itu merupakan pekerjaan yang sia-sia dan sangat merugikan, demikian sesuai firman Allah SWT QS. Al-An’aam:162-163.
Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya tiap-tiap amal (perbuatan) itu bergantung kepada niatnya; barang siapa hijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka berarti ia betul-betul hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrah karena dunia yang akan ia miliki dan wanita yang akan ia nikahi maka berarti ia berhijrah pada apa yang telah ia niatkan.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
2. Setiap guru muslim hendaknya selalu taat dan patuh pada peraturan dimana ia bekerja selama peraturan tersebut tidak melanggar aturan-aturan Allah SWT, demikian sesuai dengan firman Allah SWT QS. An-Nissa:59. Bagi seorang guru, profesi ini penuh pengabdian kepada masyarakat, dan perlu ditata berdasarkan kode etik tertentu. Kode etik itu mengatur bagaimana seorang guru harus bertingkah laku sesuai dengan norma-norma pekerjaannya, baik dalam hubungan dengan anak didiknya maupun dalam hubungan dengan teman sejawatnya.
3. Setiap guru muslim harus melaksanakan tugasnya sebagai pengajar dan pendidik dengan maksimal agar dapat mencetak generasi bangsa yang cerdas dan berakhlak mulia karena pekerjaan itu merupakan suatu amanah. Oleh sebab itu amanah tersebut harus ditunaikan dengan sebaik-baiknya. Menunaikan amanah dalam islam hukumnya wajib, demikian sesuai firman Allah SWT QS. An-Nissa : 58.
Demikian sesuai hadits Rasulullah Saw:
“Setiap kamu adalah seorang pemimpin dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban akan kepemimpinannya. Penguasa itu pemimpin atas rakyatnya dan ia harus bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Wanita (istri) itu pemimpin di rumah suaminya dan ia harus bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Dan pembantu itu pemimpin atas harta majikannya dan ia harus bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari)
4. Setiap guru muslim hendaknya bekerja secara profesional, artinya sesuai dengan kemampuan dan keahlian sesuai dengan aturan dan kode etik profesi. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT QS. Al-Israa:84.
Hadits Rasulullah SAW menyebutkan : “Apabila suatu pekerjaan tidak diberikan kepada ahlinya maka tunggu saja saat kehancurannya.” (HR. Bukhari).
Sebagai figur guru muslim yang ideal sebuah profesionalisme juga sangat penting. Guru profesional yang bekerja melaksanakan fungsi dan tujuan sekolah harus memiliki kompetensi-kompetensi yang dituntut agar guru mampu melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya.
Menurut prof. Dr. Oemar Hamalik (2008:38) , berdasarkan pendekatan kompetensi, guru yang dinilai kompeten secara profesional, apabila:
a. Guru tersebut mampu mengembangkan tanggung jawab dengan sebaik-baiknya.
b. Guru tersebut mampu melaksanakan peranan-peranannya secara berhasil.
c. Guru tersebut mampu bekerja dalam usaha mencapai tujuan pendidikan (tujuan instruksional) sekolah.
d. Guru tersebut mampu melaksanakan peranannya dalam proses mengajar dan belajar dalam kelas.
5. Setiap guru muslim harus bersikap jujur, sesuai dengan firman Allah SWT QS. Al-Ahzab : 54.
6. Setiap guru muslim harus bekerja penuh tanggung jawab dan tidak diperkenankan berbuat curang yang dapat merugikan pihak atau orang lain, demikian sesuai firman Allah SWT QS. Al-Muthaffifin:1-7. Adapun sejumlah tanggung jawab yang di emban oleh seorang guru dalam bidang pendidikan diantaranya yaitu:
a. Guru memiliki tanggung jawab moral karena setiap guru berkewajiban menghayati dan mengenalkan pancasila dan bertanggung jawab mewariskan moral pancasila itu serta nilai Undang-Undang Dasar 1945 kepada generasi muda. Guru harus mampu melaksanakan dan menerapkan moral Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
b. Guru bertanggung jawab dalam bidang pendidikan di Sekolah. Tanggung jawab ini direalisasikan dalam bentuk melaksanakan pembinaan kurikulum, menuntun para siswa belajar, membina pribadi, watak, dan jasmaniah siswa, menganalisis kesulitan belajar, serta menilai kemajuan belajar para siswa.
c. Guru bertanggung jawab dalam bidang kemasyarakatan yang mana guru turut bertanggung jawab memajukan kesatuan dan persatuan bangsa, menyukseskan pembangunan nasional, serta menyukseskan pembangunan daerah khususnya yang dimulai dari daerah di mana dia tinggal.
d. Guru bertanggung jawab dalam bidang keilmuan. disini guru juga bertanggung jawab untuk memajukan ilmu pengetahuan. Tanggung jawab ini dapat dilaksanakan dalam bentuk mengadakan penelitian dan pengembangan.
7. Setiap guru muslim hendaknya mampu bekerja sama dalam melaksanakan pengajarannya baik dengan siswa, orang tua, ataupun masyarakat. Hal tersebut merupakan cerminan nilai atau spirit konsep berjama’ah dalam sholat. Kerja sama merupakan nilai luhur yang harus senantiasa dijunjung tinggi oleh setiap guru muslim, sebagaimana firman Allah QS. Al-Maidah:2.
8. Setiap guru muslim hendaknya selalu memanfaatkan waktu semaksimal mungkin dan seefektif mungkin di dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT QS. Al-Asyr:1-3.
9. Setiap guru muslim hendaknya selalu bersikap efesiensi dalam melakukan pengajaran kepada anak didiknya sehingga ia tidak melakukan pemborosan. Ia menyadari bahwa pemborosan itu dilarang keras dalam ajaran islam. Pemborosan merupakan perbuatan syaitan, demikian sesuai dengan firman Allah SWT QS. Al-Israa:26-27.
10. Setiap guru muslim hendaknya selalu bersikap kreatif dan inovatif dalam membuat media, memilih metode, dan tidak boleh monoton apalagi stagnan dan mengarah kepada penurunan fasilitas dan kualitas.
Demikian sesuai hadis Rasulullah SAW:
“Barang siapa yang amal usahanya lebih baik daripada hari kemarin maka orang itu termasuk orang yang beruntung. Dan jika amal usahanya sama dengan yang kemarin maka termasuk orang yang merugi. Dan jika amal usahanya lebih buruk dari kemarin maka orang itu termasuk orang yang tercela.” (HR. Thabrani).
11. Setiap guru muslim dalam menjalankan pengajaran hendaknya ia selalu disertai sikap tawakal kepada Allah SWT dan disertai sikap qona’ah terhadap apa pun keputusan yang telah ditentukan oleh Allah SWT, sehingga apa pun kesuksesan yang dicapai tidak menimbulkan kesombongan, ketakaburan, dan tidak mengagung-agungkan diri sendiri apabila menerima kegagalan dan ketidaksuksesan maka ia tidak stres dan tidak frustasi. Ia menyadari bahwa dirinya hanya merupakan hamba Allah SWT dan di luar kekuasaan dirinya, ada kekuasaan dan ada qadlo serta qadar Allah SWT, demikian sesuai firman Allah SWT QS. Al Imraan:159. Pada ayat yang lain Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Hadiid:22-23.
12. Setiap guru muslim hendaknya selalu menyadari bahwa pekerjaan yang ia lakukan kelak akan dimintai pertangguungjawabannya di hadapan Allah SWT, hal demikian sesuai dengan firman Allah SWT QS. Al-Mujadilah:6
Berdasarkan penjelasan mengenai karakter-karakter guru muslim yang ideal dalam etos kerja diatas dapat diketahui bahwa betapa pentingnya etos kerja seorang guru menurut pandangan Islam.
F. Upaya Meningkatkan Etos Kerja
Menurut Siregar (2000) dalam meningkatkan Etos Kerja perlu adanya pembinaan dalam diri mengenai aspek kecerdasan yang meliputi :
1. Kesadaran : keadaan mengerti akan pekerjaanya.
2. Semangat : keinginan untuk bekerja.
3. Kemauan : apa yang diinginkan atau keinginan, kehendak dalam bekerja.
4. Komitmen : perjanjian untuk melaksanakan pekerjaan (janji dalam bekerja).
5. Inisiatif : usaha mula-mula, prakarsa dalam bekerja.
6. Produktif : banyak menghasilkan sesuatu bagi perusahaan.
7. Peningkatan : proses, cara atau perbuatan meningkatkan usaha, kegiatan dan sebagainya dalam bekerja.
8. Wawasan : konsepsi atau cara pandang tentang bekerja.
Adapun beberapa upaya dalam meningkatkan etos kerja guru yang penulis simpulkan dari pembahasan-pembahasan sebelumnya, antara lain:
1. Adanya reward and punishment bagi seorang guru. Reward disini dimaksudkan memberikan hadiah kepada guru yang berprestasi atau guru yang selalu melaksanakan tugasnya dengan baik agar memotivasi dirinya untuk lebih kreatif dan inovatif dalam melaksanakan pekerjaannya sebagai pengajar. Sedangkan, punishment atau hukuman ini ditujukan kepada guru yang telah melalaikan tugasnya atau melanggar peraturan agar bisa memperbaiki perilakunya untuk menjadi lebih baik.
2. Adanya penghargaan bagi guru teladan atau berprestasi, misalnya dengan membuat lukisan penghormatan yang diatasnya dituliskan nama guru, prestasi yang pernah diraihnya, dan sekilas riwayat hidupnya. Kemudian memberikan penghormatan dan ucapan terima kasih dihadapan para guru, siswa, dan wali murid.
3. Adanya penilaian hasil kerja guru. Dalam hal ini, penilaian dilakukan dengan melakukan evaluasi kerja guru, sejauh mana ketercapaian kinerjanya dalam memberikan pengajaran kepada siswa-siswanya.
4. Guru melakukan studi banding ke beberapa sekolah lain yang lebih baik. Melalui hal ini, diharapkan dapat menambah wawasan guru mengenai pembelajaran yang lebih baik sehingga guru termotivasi untuk menciptakan model atau strategi pembelajaran yang menarik dan sesuai dengan perkembangan anak didiknya.
27/11/10
Bimbingan anak tuna rungu
A. Pengertian Tunarungu
Pada umumnya, orang normal dapat menangkap suara atau bunyi pada kisaran 0-25 dB sedangkan di atas ukuran tersebut dapat dikategorikan mempunyai gangguan pendengaran atau disebut dengan tunarungu. Individu dengan Hambatan Sensori Pendengaran (Tunarungu) adalah mereka yang mengalami kekurangan atau kehilangan pendengaran yang disebabkan karena tidak berfungsinya sebagian atau keseluruhan alat pendengarannya sehingga mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya.
Sedangkan menurut Ashman dan Elkins (1994),
Ketunarunguan (hearing loss) adalah satu istilah umum yang menggambarkan semua derajat dan jenis kondisi tuli (deafness) terlepas dari penyebabnya dan usia kejadiannya. Sejumlah variabel (derajat, jenis, penyebab dan usia kejadiannya) berkombinasi di dalam diri seorang siswa tunarungu mengakibatkan dampak yang unik terhadap perkembangan personal, sosial, intelektual dan pendidikannya, yang pada gilirannya hal ini akan mempengaruhi pilihan gaya hidupnya pada masa dewasanya (terutama kelompok sosial dan pekerjaannya).
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, Tunarungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran. Sedangkan, Anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan pendengaran dan percakapan dengan derajat pendengaran di atas 25 dB.
B. Karakteristik Tunarungu
1. Karakteristik fisik, meliputi :
a. Cara berjalannya kaku dan agak membungkuk karena daya keseimbangannya terganggu;
b. Gerakan kaki dan tangannya lincah/ cepat sebab sering digunakan untuk berkomunikasi dengan lingkungannya, sebagai pengganti bahasa lisannya;
c. Gerakan matanya cepat dan bringas, apabila organ ini tidak dijaga dengan baik dapat berakibat kemampuan melihat menurun karena selalu digunakan sebagai pengganti alat pendengarannya;
d. Kemampuan pernapasannya pendek-pendek terganggu, sehingga tidak mampu berbahasa dengan baik.
2. Karakteristik dalam segi bicara/bahasa, meliputi :
a. Biasanya individu yang tuli juga mengalami ketidakmampuan dalam berbahasa;
b. Tunarungu yang diperoleh sejak lahir dapat belajar bicara dengan suara normal;
c. Anak tunarungu miskin dalam kosakata;
d. Dia mengalami kesulitan di dalam mngartikan ungkapan-ungkapan bahasa yang mengandung arti kiasan dan kata-kata abstrak;
e. Dia kurang mnguasai irama dan gaya bahasa ; dan
f. Dia mengalami kesulitan dalam berbahasa verbal dan pasif dalam berbicara.
3. Karakteristik kepribadiannya, meliputi :
a. Anak tunarungu tidak berpendidikan, cenderung murung, penuh curiga, curang, kejam, tidak simpati, tidak dapat dipercaya, cemburu, tidak wajar, egois, ingin membalas dendam, dan sebagainya;
b. Lingkungan yang menyenangkan dan memanjakan dapat berpengaruh terhadap ketidakmampuan dalam penyesuaian mental maupun emosi; dan
c. Anak tunarungu menunjukkan kondisi yang lebih neurotik, mengalami ketidakmampuan, dan berkepribadian tertutup (Introvert).
4. Karateristik emosi dan sosialnya, meliputi :
a. Suka menafsirkan secara negatif;
b. Kurang mampu dalam mengendalikan emosinya dan sering emosinya bergejolak;
c. Memiliki perasaaan rendah diri dan merasa diasingkan; dan
d. Memilki rasa cemburu karena merasa tidak diperlakukan dengan adil serta sulit bergaul.
C. Jenis-jenis Tunarungu
Easterbrooks (1997) mengemukakan bahwa terdapat tiga jenis utama ketunarunguan menurut lokasi ganguannya:
1. Conductive loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat gangguan pada bagian luar atau tengah telinga yang menghambat dihantarkannya gelombang bunyi ke bagian dalam telinga.
2. Sensorineural loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat kerusakan pada bagian dalam telinga atau syaraf pendengaran yang mengakibatkan terhambatnya pengiriman pesan bunyi ke otak.
3. Central auditory processing disorder, yaitu gangguan pada sistem syaraf pusat proses pendengaran yang mengakibatkan individu mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya meskipun tidak ada gangguan yang spesifik pada telinganya itu sendiri. Anak yang mengalami gangguan pusat pemerosesan pendengaran ini mungkin memiliki pendengaran yang normal bila diukur dengan audiometer, tetapi mereka sering mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya..
Berdasarkan tingkat keberfungsian telinga dalam mendengar bunyi, Ashman dan Elkins (1994) mengklasifikasikan ketunarunguan ke dalam empat kategori, yaitu:
1. Ketunarunguan ringan (mild hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 20-40 dB (desibel). Mereka sering tidak menyadari bahwa sedang diajak bicara, mengalami sedikit kesulitan dalam percakapan.
2. Ketunarunguan sedang (moderate hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 40-65 dB. Mereka mengalami kesulitan dalam percakapan tanpa memperhatikan wajah pembicara, sulit mendengar dari kejauhan atau dalam suasana gaduh, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar (hearing aid).
3. Ketunarunguan berat (severe hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 65-95 dB. Mereka sedikit memahami percakapan pembicara bila memperhatikan wajah pembicara dengan suara keras, tetapi percakapan normal praktis tidak mungkin dilakukannya, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar.
4. Ketunarunguan parah (profound hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 95 dB atau lebih keras. Percakapan normal tidak mungkin baginya, ada yang dapat terbantu dengan alat bantu dengar tertentu, sangat bergantung pada komunikasi visual.
D. Kurikulum
Secara umum bahan pelajaran di Sekolah Luar Biasa (SLB) khususnya di SLBSD sama dengan bahan pelajaran yang diberikan di sekolah biasa. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 6 Ayat 1, menyatakan bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas :
a. kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia;
b. kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian;
c. kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi;
d. kelompok mata pelajaran estetika;
e. kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan.
Kurikulum SD/MI memuat 8 mata pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri. Delapan mata pelajaran tersebut antara lain : Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Seni Budaya dan Keterampilan, Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan. Muatan isi pada setiap mata pelajaran pada SDLB A,B,D,E pada dasarnya sama dengan SD umum, tetapi karena kelainan dan kebutuhannya khusus, maka diperlukan modifikasi dan/atau penyesuaian secara terbatas.
Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Sedangkan, Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus di asuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah.
Pembelajaran untuk kelas I s.d. III dilaksanakan melalui pendekatan tematik, sedangkan pada kelas IV s.d. VI dilaksanakan melalui pendekatan pelajaran.
Jumlah jam pembelajaran SDLB A,B,D,E kelas I, II,III berkisar antara 28 – 30 jam pembelajaran/minggu dan 34 pembelajaran/minggu untuk kelas IV,V,VI kelebihan 2 jam pembelajaran dari SD umum karena ada tambahan mata pelajaran program khusus.
E. Sistem Layanan
Sebagaimana anak lainnya yang mendengar, anak tunarungu membutuhkan pendidikan untuk mengembangkan potensinya secara optimal. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, diperlukan layanan pendidikan yang disesuaikan dengan karakteristik, kemampuan, dan ketidakmampuannya. Di samping sebagai kebutuhan, pemberian layanan pendidikan kepada anak tunarungu, didasari oleh beberapa landasan, yaitu landasan agama, kemanusiaan, hukum, dan pedagogis.
Ditinjau dari jenisnya, layanan pendidikan terhadap anak tunarungu, meliputi layanan umum dan khusus. Layanan umum merupakam layanan yang biasa diberikan kepada anak mendengar/normal, sedangkan layanan khusus merupakan layanan yang diberikan untuk mengurangi dampak kelainannya, yang meliputi layanan bina bicara serta bina persepsi bunyi dan irama.
Ditinjau dari tempat sistem pendidikannya, layanan pendidikan bagi anak tunarungu dikelompokkan menjadi sistem segregasi dan integrasi/terpadu. Sistem segregasi merupakan sistem pendidikan yang terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak mendengar/normal. Tempat pendidikan bagi anak tunarungu melalui sistem ini meliputi: sekolah khusus (SLB-B), SDLB, dan kelas jauh atau kelas kunjung. Sistem Pendidikan intergrasi/terpadu, merupakan sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak tunarungu untuk belajar bersama anak mendengar/normal di sekolah umum/biasa. Melalui sistem ini anak tunarungu ditempatkan dalam berbagai bentuk keterpaduan yang sesuai dengan kemampuannya. Depdiknas (1984) mengelompokkan bentuk keterpaduan tersebut menjadi kelas biasa, kelas biasa dengan ruang bimbingan khusus, serta kelas khusus.
Pada realitanya, pelaksaan sistem integrasi ini masih sangat terbatas untuk penyandang kelainan yang termasuk kategori yang ringan, dan hanya bagi mereka yang memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh sekolah reguler yang akan menerimanya. Jadi masih ada diskriminasi pelayanan pendidikan (Ekslusif), karena tidak semua penyandang kelainan dapat menikmati sistem pendidikan integrasi tersebut.
Pada era globalisasi ini, promosi penegakan Hak Asasi Manusia semakin marak dalam kehidupan masyarakat demokratis di Indonesia, yaitu munculnya pandangan baru bahwa semua penyandang kelainan khusunya tunarungu mempunyai hak yang sama untuk dididik bersama-sama dengan teman sebayanya di sekolah reguler. Dengan kata lain anak tunarungu tidak boleh ditolak untuk belajar di sekolah umum yang mereka inginkan. Sistem pendidikan semacam ini, kita kenal dengan pendidikan inklusi.
F. Metode Pengajaran
Berikut metode pengajaran yang umumnya digunakan oleh guru kepada anak tuna rungu, yaitu :
1) Belajar Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)
Belajar melalui membaca ujaran adalah belajar dimana anak dapat memahami pembicaraan orang lain dengan “membaca” ujarannya melalui gerakan bibirnya. Akan tetapi, hanya sekitar 50% bunyi ujaran yang dapat terlihat pada bibir (Berger, 1972). Di antara 50% lainnya, sebagian dibuat di belakang bibir yang tertutup atau jauh di bagian belakang mulut sehingga tidak kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak sama sehingga pembaca bibir tidak dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa prabahasa. Seseorang dapat menjadi pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuan yang baik tentang struktur bahasa sehingga dapat membuat dugaan yang tepat mengenai bunyi-bunyi yang “tersembunyi” itu. Jadi, orang tunarungu yang bahasanya normal biasanya merupakan pembaca ujaran yang lebih baik daripada tunarungu prabahasa, dan bahkan terdapat bukti bahwa orang non-tunarungu tanpa latihan dapat membaca bibir lebih baik daripada orang tunarungu yang terpaksa harus bergantung pada cara ini (Ashman & Elkins, 1994).
Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila digabung dengan sistem cued speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading).
2) Belajar Melalui Pendengaran
Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa belajar melalui pendengaran dimana individu tunarungu dari semua tingkat ketunarunguan dapat memperoleh manfaat dari alat bantu dengar tertentu. Alat bantu dengar yang telah terbukti efektif bagi jenis ketunarunguan sensorineural dengan tingkat yang berat sekali adalah cochlear implant. Cochlear implant adalah prostesis alat pendengaran yang terdiri dari dua komponen, yaitu komponen eksternal (mikropon dan speech processor) yang dipakai oleh pengguna, dan komponen internal (rangkaian elektroda yang melalui pembedahan dimasukkan ke dalam cochlea (ujung organ pendengaran) di telinga bagian dalam. Komponen eksternal dan internal tersebut dihubungkan secara elektrik. Prostesis cochlear implant dirancang untuk menciptakan rangsangan pendengaran dengan langsung memberikan stimulasi elektrik pada syaraf pendengaran (Laughton, 1997).
Akan tetapi, meskipun dalam lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang dapat dikenali secara cukup baik oleh orang dengan klasifikasi ketunarunguan berat untuk memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur sintaksis dan fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi ini tidak berarti bahwa penyandang ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat memperoleh manfaat dari bunyi yang diamplifikasi dengan alat bantu dengar. Yang menjadi masalah besar dalam hal ini adalah bahwa individu tunarungu jarang dapat mendengarkan bunyi ujaran dalam kondisi optimal. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan individu tunarungu tidak dapat memperoleh manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar yang dipergunakannya. Di samping itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar alat bantu dengar yang dipergunakan individu tunarungu itu tidak berfungsi dengan baik akibat kehabisan baterai dan earmould yang tidak cocok.
3) Belajar secara Manual
Secara alami, individu tunarungu cenderung mengembangkan cara komunikasi manual atau bahasa isyarat. Untuk tujuan universalitas, berbagai negara telah mengembangkan bahasa isyarat yang dibakukan secara nasional. Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa komunikasi manual dengan bahasa isyarat yang baku memberikan gambaran lengkap tentang bahasa kepada tunarungu, sehingga mereka perlu mempelajarinya dengan baik. Kerugian penggunaan bahasa isyarat ini adalah bahwa para penggunanya cenderung membentuk masyarakat yang eksklusif.
Ketiga metode pengajaran di atas dapat digabungkan dengan metode pembelajaran yang sama dengan sekolah umum, contohnya metode tanya jawab, demonstrasi, dan sebagainya.
Langganan:
Postingan (Atom)