27/11/10

Bimbingan anak tuna rungu


A. Pengertian Tunarungu
Pada umumnya, orang normal dapat menangkap suara atau bunyi pada kisaran 0-25 dB sedangkan di atas ukuran tersebut dapat dikategorikan mempunyai gangguan pendengaran atau disebut dengan tunarungu. Individu dengan Hambatan Sensori Pendengaran (Tunarungu) adalah mereka yang mengalami kekurangan atau kehilangan pendengaran yang disebabkan karena tidak berfungsinya sebagian atau keseluruhan alat pendengarannya sehingga mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya.
Sedangkan menurut Ashman dan Elkins (1994),
Ketunarunguan (hearing loss) adalah satu istilah umum yang menggambarkan semua derajat dan jenis kondisi tuli (deafness) terlepas dari penyebabnya dan usia kejadiannya. Sejumlah variabel (derajat, jenis, penyebab dan usia kejadiannya) berkombinasi di dalam diri seorang siswa tunarungu mengakibatkan dampak yang unik terhadap perkembangan personal, sosial, intelektual dan pendidikannya, yang pada gilirannya hal ini akan mempengaruhi pilihan gaya hidupnya pada masa dewasanya (terutama kelompok sosial dan pekerjaannya).

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, Tunarungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran. Sedangkan, Anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan pendengaran dan percakapan dengan derajat pendengaran di atas 25 dB.

B. Karakteristik Tunarungu
1. Karakteristik fisik, meliputi :
a. Cara berjalannya kaku dan agak membungkuk karena daya keseimbangannya terganggu;
b. Gerakan kaki dan tangannya lincah/ cepat sebab sering digunakan untuk berkomunikasi dengan lingkungannya, sebagai pengganti bahasa lisannya;
c. Gerakan matanya cepat dan bringas, apabila organ ini tidak dijaga dengan baik dapat berakibat kemampuan melihat menurun karena selalu digunakan sebagai pengganti alat pendengarannya;
d. Kemampuan pernapasannya pendek-pendek terganggu, sehingga tidak mampu berbahasa dengan baik.
2. Karakteristik dalam segi bicara/bahasa, meliputi :
a. Biasanya individu yang tuli juga mengalami ketidakmampuan dalam berbahasa;
b. Tunarungu yang diperoleh sejak lahir dapat belajar bicara dengan suara normal;
c. Anak tunarungu miskin dalam kosakata;
d. Dia mengalami kesulitan di dalam mngartikan ungkapan-ungkapan bahasa yang mengandung arti kiasan dan kata-kata abstrak;
e. Dia kurang mnguasai irama dan gaya bahasa ; dan
f. Dia mengalami kesulitan dalam berbahasa verbal dan pasif dalam berbicara.
3. Karakteristik kepribadiannya, meliputi :
a. Anak tunarungu tidak berpendidikan, cenderung murung, penuh curiga, curang, kejam, tidak simpati, tidak dapat dipercaya, cemburu, tidak wajar, egois, ingin membalas dendam, dan sebagainya;
b. Lingkungan yang menyenangkan dan memanjakan dapat berpengaruh terhadap ketidakmampuan dalam penyesuaian mental maupun emosi; dan
c. Anak tunarungu menunjukkan kondisi yang lebih neurotik, mengalami ketidakmampuan, dan berkepribadian tertutup (Introvert).
4. Karateristik emosi dan sosialnya, meliputi :
a. Suka menafsirkan secara negatif;
b. Kurang mampu dalam mengendalikan emosinya dan sering emosinya bergejolak;
c. Memiliki perasaaan rendah diri dan merasa diasingkan; dan
d. Memilki rasa cemburu karena merasa tidak diperlakukan dengan adil serta sulit bergaul.

C. Jenis-jenis Tunarungu
Easterbrooks (1997) mengemukakan bahwa terdapat tiga jenis utama ketunarunguan menurut lokasi ganguannya:
1. Conductive loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat gangguan pada bagian luar atau tengah telinga yang menghambat dihantarkannya gelombang bunyi ke bagian dalam telinga.
2. Sensorineural loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat kerusakan pada bagian dalam telinga atau syaraf pendengaran yang mengakibatkan terhambatnya pengiriman pesan bunyi ke otak.
3. Central auditory processing disorder, yaitu gangguan pada sistem syaraf pusat proses pendengaran yang mengakibatkan individu mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya meskipun tidak ada gangguan yang spesifik pada telinganya itu sendiri. Anak yang mengalami gangguan pusat pemerosesan pendengaran ini mungkin memiliki pendengaran yang normal bila diukur dengan audiometer, tetapi mereka sering mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya..
Berdasarkan tingkat keberfungsian telinga dalam mendengar bunyi, Ashman dan Elkins (1994) mengklasifikasikan ketunarunguan ke dalam empat kategori, yaitu:
1. Ketunarunguan ringan (mild hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 20-40 dB (desibel). Mereka sering tidak menyadari bahwa sedang diajak bicara, mengalami sedikit kesulitan dalam percakapan.
2. Ketunarunguan sedang (moderate hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 40-65 dB. Mereka mengalami kesulitan dalam percakapan tanpa memperhatikan wajah pembicara, sulit mendengar dari kejauhan atau dalam suasana gaduh, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar (hearing aid).
3. Ketunarunguan berat (severe hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 65-95 dB. Mereka sedikit memahami percakapan pembicara bila memperhatikan wajah pembicara dengan suara keras, tetapi percakapan normal praktis tidak mungkin dilakukannya, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar.
4. Ketunarunguan parah (profound hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 95 dB atau lebih keras. Percakapan normal tidak mungkin baginya, ada yang dapat terbantu dengan alat bantu dengar tertentu, sangat bergantung pada komunikasi visual.
D. Kurikulum
Secara umum bahan pelajaran di Sekolah Luar Biasa (SLB) khususnya di SLBSD sama dengan bahan pelajaran yang diberikan di sekolah biasa. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 6 Ayat 1, menyatakan bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas :
a. kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia;
b. kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian;
c. kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi;
d. kelompok mata pelajaran estetika;
e. kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan.
Kurikulum SD/MI memuat 8 mata pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri. Delapan mata pelajaran tersebut antara lain : Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Seni Budaya dan Keterampilan, Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan. Muatan isi pada setiap mata pelajaran pada SDLB A,B,D,E pada dasarnya sama dengan SD umum, tetapi karena kelainan dan kebutuhannya khusus, maka diperlukan modifikasi dan/atau penyesuaian secara terbatas.
Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Sedangkan, Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus di asuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah.
Pembelajaran untuk kelas I s.d. III dilaksanakan melalui pendekatan tematik, sedangkan pada kelas IV s.d. VI dilaksanakan melalui pendekatan pelajaran.
Jumlah jam pembelajaran SDLB A,B,D,E kelas I, II,III berkisar antara 28 – 30 jam pembelajaran/minggu dan 34 pembelajaran/minggu untuk kelas IV,V,VI kelebihan 2 jam pembelajaran dari SD umum karena ada tambahan mata pelajaran program khusus.

E. Sistem Layanan
Sebagaimana anak lainnya yang mendengar, anak tunarungu membutuhkan pendidikan untuk mengembangkan potensinya secara optimal. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, diperlukan layanan pendidikan yang disesuaikan dengan karakteristik, kemampuan, dan ketidakmampuannya. Di samping sebagai kebutuhan, pemberian layanan pendidikan kepada anak tunarungu, didasari oleh beberapa landasan, yaitu landasan agama, kemanusiaan, hukum, dan pedagogis.
Ditinjau dari jenisnya, layanan pendidikan terhadap anak tunarungu, meliputi layanan umum dan khusus. Layanan umum merupakam layanan yang biasa diberikan kepada anak mendengar/normal, sedangkan layanan khusus merupakan layanan yang diberikan untuk mengurangi dampak kelainannya, yang meliputi layanan bina bicara serta bina persepsi bunyi dan irama.
Ditinjau dari tempat sistem pendidikannya, layanan pendidikan bagi anak tunarungu dikelompokkan menjadi sistem segregasi dan integrasi/terpadu. Sistem segregasi merupakan sistem pendidikan yang terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak mendengar/normal. Tempat pendidikan bagi anak tunarungu melalui sistem ini meliputi: sekolah khusus (SLB-B), SDLB, dan kelas jauh atau kelas kunjung. Sistem Pendidikan intergrasi/terpadu, merupakan sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak tunarungu untuk belajar bersama anak mendengar/normal di sekolah umum/biasa. Melalui sistem ini anak tunarungu ditempatkan dalam berbagai bentuk keterpaduan yang sesuai dengan kemampuannya. Depdiknas (1984) mengelompokkan bentuk keterpaduan tersebut menjadi kelas biasa, kelas biasa dengan ruang bimbingan khusus, serta kelas khusus.
Pada realitanya, pelaksaan sistem integrasi ini masih sangat terbatas untuk penyandang kelainan yang termasuk kategori yang ringan, dan hanya bagi mereka yang memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh sekolah reguler yang akan menerimanya. Jadi masih ada diskriminasi pelayanan pendidikan (Ekslusif), karena tidak semua penyandang kelainan dapat menikmati sistem pendidikan integrasi tersebut.
Pada era globalisasi ini, promosi penegakan Hak Asasi Manusia semakin marak dalam kehidupan masyarakat demokratis di Indonesia, yaitu munculnya pandangan baru bahwa semua penyandang kelainan khusunya tunarungu mempunyai hak yang sama untuk dididik bersama-sama dengan teman sebayanya di sekolah reguler. Dengan kata lain anak tunarungu tidak boleh ditolak untuk belajar di sekolah umum yang mereka inginkan. Sistem pendidikan semacam ini, kita kenal dengan pendidikan inklusi.

F. Metode Pengajaran
Berikut metode pengajaran yang umumnya digunakan oleh guru kepada anak tuna rungu, yaitu :
1) Belajar Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)
Belajar melalui membaca ujaran adalah belajar dimana anak dapat memahami pembicaraan orang lain dengan “membaca” ujarannya melalui gerakan bibirnya. Akan tetapi, hanya sekitar 50% bunyi ujaran yang dapat terlihat pada bibir (Berger, 1972). Di antara 50% lainnya, sebagian dibuat di belakang bibir yang tertutup atau jauh di bagian belakang mulut sehingga tidak kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak sama sehingga pembaca bibir tidak dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa prabahasa. Seseorang dapat menjadi pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuan yang baik tentang struktur bahasa sehingga dapat membuat dugaan yang tepat mengenai bunyi-bunyi yang “tersembunyi” itu. Jadi, orang tunarungu yang bahasanya normal biasanya merupakan pembaca ujaran yang lebih baik daripada tunarungu prabahasa, dan bahkan terdapat bukti bahwa orang non-tunarungu tanpa latihan dapat membaca bibir lebih baik daripada orang tunarungu yang terpaksa harus bergantung pada cara ini (Ashman & Elkins, 1994).
Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila digabung dengan sistem cued speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading).
2) Belajar Melalui Pendengaran
Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa belajar melalui pendengaran dimana individu tunarungu dari semua tingkat ketunarunguan dapat memperoleh manfaat dari alat bantu dengar tertentu. Alat bantu dengar yang telah terbukti efektif bagi jenis ketunarunguan sensorineural dengan tingkat yang berat sekali adalah cochlear implant. Cochlear implant adalah prostesis alat pendengaran yang terdiri dari dua komponen, yaitu komponen eksternal (mikropon dan speech processor) yang dipakai oleh pengguna, dan komponen internal (rangkaian elektroda yang melalui pembedahan dimasukkan ke dalam cochlea (ujung organ pendengaran) di telinga bagian dalam. Komponen eksternal dan internal tersebut dihubungkan secara elektrik. Prostesis cochlear implant dirancang untuk menciptakan rangsangan pendengaran dengan langsung memberikan stimulasi elektrik pada syaraf pendengaran (Laughton, 1997).
Akan tetapi, meskipun dalam lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang dapat dikenali secara cukup baik oleh orang dengan klasifikasi ketunarunguan berat untuk memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur sintaksis dan fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi ini tidak berarti bahwa penyandang ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat memperoleh manfaat dari bunyi yang diamplifikasi dengan alat bantu dengar. Yang menjadi masalah besar dalam hal ini adalah bahwa individu tunarungu jarang dapat mendengarkan bunyi ujaran dalam kondisi optimal. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan individu tunarungu tidak dapat memperoleh manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar yang dipergunakannya. Di samping itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar alat bantu dengar yang dipergunakan individu tunarungu itu tidak berfungsi dengan baik akibat kehabisan baterai dan earmould yang tidak cocok.
3) Belajar secara Manual
Secara alami, individu tunarungu cenderung mengembangkan cara komunikasi manual atau bahasa isyarat. Untuk tujuan universalitas, berbagai negara telah mengembangkan bahasa isyarat yang dibakukan secara nasional. Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa komunikasi manual dengan bahasa isyarat yang baku memberikan gambaran lengkap tentang bahasa kepada tunarungu, sehingga mereka perlu mempelajarinya dengan baik. Kerugian penggunaan bahasa isyarat ini adalah bahwa para penggunanya cenderung membentuk masyarakat yang eksklusif.
Ketiga metode pengajaran di atas dapat digabungkan dengan metode pembelajaran yang sama dengan sekolah umum, contohnya metode tanya jawab, demonstrasi, dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar